Tari Rejang Dewa, salah satu tari sakral Bali
Bali merupakan pulau yang sangat kaya akan budaya tradisional. Budaya Bali yang diinspirasi oleh agama Hindu benar benar unik dan tidak bisa dijumpai dimanapun di dunia ini. Karena itu, Bali dijuluki sebagai Pulau Dewata. Ada banyak hal yang kita bisa temukan di Bali, tetapi sulit ditemukan di tempat lain, salah satu contohnya adalah tarian ritual. Tarian ritual merupakan tarian yang dipentaskan ketika ada upacara-upacara tertentu yang juga memiliki maksud dan tujuan tertentu dan bersifat spiritual. Di bali, tarian ritual ini jumlahnya mencapai ratusan dan uniknya beberapa daerah memiliki tarian ritualnya masing-masing. Tri Hita Karana ada sebagai alasan terciptanya tarian ritual. Pementasan tarian ritual ini merupakan cerminan yang meyakinkan akan citra pulau Bali sebagai Pulau Dewata itu.
Seiring
dengan perkembangan zaman yang disebut sebagai era globalisasi ini, eksistentsi
Bali pada dunia meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun hingga
sekarang, ini berdampak pada sektor pariwisata bali yang terus meningkat.
Namun, dilihat dari sudut pandang ajaran filsafat Tri Hita Karana, hali ini
didominasi dengan dampak negatifnya.
makna dari “Pulau Dewata” yang dimiliki Bali terancam bahaya, dan bahwa
julukan “Pulau Dewata” tidak akan lagi memiliki makna yang sebenarnya, dan
hanya akan menjadi julukan semata.
Saya
yakin bahwa kita masih belum terlambat untuk membenahi diri, untuk sadar akan
bahaya yang selalu mengancam identitas Pulau Bali sebagai Pulau Dewata. Satu
satunya cara yang bisa kita tempuh untuk menghindari ancaman ialah kesadaran
yang lebih akan pentingnya Tri Hita Karana.
Tarian
ritual biasanya dipentaskan bersamaan dengan diadakannya suatu upacara
keagamaan. Dan disini, Tri Hita Karana berdiri sebagai alasan dan makna
tersirat ketika dipentaskannya sebuah tari ritual. Sesuai dengan ajaran
filsafat Tri Hita Karana, maka tujuan dipentaskannya tari-tarian ritual dapat
dibagi menjadi tiga.
Yang pertama ialah
sebagai upacara yang dilakukan oleh manusia untuk menjaga keharmonisannya
dengan Tuhan. Salah satu contohnya ialah pementasan tari Rejang Dewa yang hanya
ditarikan pada saat ritual tertentu sebagai perantara untuk mengundang para
Dewa dengan manifestasinya agar turun ke bumi untuk menerima persembahan yadnya
yang dihaturkan pada ritual itu. Syarat dipentaskannya tari Rejang Dewa tidak
hanya harus sesuai dengan ritual upacaranya, juga yang melakukannya ialah gadis
yang masih bersih, tidak boleh dilakukan
oleh wanita yang sudah mengalami menstruasi. Dari sini kita juga bisa
mengetahui bahwa tari ritual tidak hanya harus sesuai tempat, waktu, dan
kondisi, juga hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kriteria tertentu.
Maka adalah sebuah penghinaan bagi para Dewa jika tari ritual yang sakral
seperti tari Rejang Dewa dipentaskan untuk perihal komersial.
Tujuan
dipentaskannya tarian ritual menurut Tri Hita Karana yang kedua ialah upaya manusia untuk meminta anugerah kepada
Tuhan agar diharmoniskan dengan alam. sudah menjadi hal pokok dalam setiap
makna kegiatan yang dilakukan oleh umat Hindu khususnya di Bali.
Lalu
tujuan pementasan tari ritual menurut Tri Hita Karana yang ketiga adalah
sebagai upaya pelakunya untuk mengharmoniskan dirinya dengan manusia lain,
yakni dengan melestarikan budaya asli yang telah diciptakan nenek moyangnya.
Diluar daripada nilai-nilai spiritual yang terkandung didalam sebuah tarian ritual,
ada juga nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan disana, seperti contohnya
adalah bagaimana kita tetap mempertahankan pakem keaslian dari tarian ritual
sesuai dengan apa yang diajarkan guru kita, dan hendaknya guru kita mengajarkan
kita sesuai dengan apa yang diajarkan gurunya. Makna dari sebuah tari ritual
tidak akan pernah melenceng dari makna sebenarnya jika rantai ini terjaga untuk
tidak putus.
Apa
yang terjadi pada tari ritual di masa ini terlihat sangat memprihatinkan. Mulai
dari adanya modifikasi gerakan yang sebenarnya, juga oleh orang orang yang
mementaskannya pada tempat tempat yang bersifat komersial, seperti hotel, sebuah
perayaan bisnis, hingga dijadikannya tarian ritual ini sebagai alat untuk
memperoleh rekor MURI. https://bali.bisnis.com/read/20190917/537/1149365/tari-sakral-bali-akhirnya-dilarang-pentas-untuk-kegiatan-komersial
Pada
pertengahan bulan september kemarin, Kementrian Agama RI mengadakan sebuah
event nasional yaitu Festival Seni Keagamaan Hindu yang diadakan di Surabaya.
Dalam rangkaian festival tersebut, diadakan juga beberapa cabang lomba, yang
salah satu diantaranya adalah Lomba Musik Tradisional Ritual Keagamaan Hindu
dan Lomba Tari Ritual Keagamaan Hindu.
Saya disana sebagai pemusik yang mewakili provinsi Jawa Barat. Saya secara
pribadi menolak adanya perlombaan ini, karena tidak hanya merusak citra tarian
dari segi spiritual, juga mengancam adanya perubahan gerakan yang sudah ada
demi memenangkan perlombaan. tetapi dilemanya adalah tim saya mendapatkan juara
di lomba tersebut. Lalu siapa yang bisa disalahkan jika sudah begini? Apakah
saya karena secara sengaja mau mengikuti perlombaannya? Atau salah panitia
penyelenggara karena memperlombakan sebuah ritual?
Gubernur Bali Wayan Koster membacakan Surat Keputusan Larangan Pementasan Tari Sakral untuk komersil
Akhirnya pada bulan yang
sama, yakni bulan september kemarin, Gubernur Bali I Wayan Koster mengumumkan surat keputusan larangan untuk dipentaskannya 127 tarian ritual untuk tujuan komersial, yang
terdiri dari beberapa jenis tari Baris, tari Rejang, tari Sanghyang, dan tari
Barong. Diketahui bahwa selama ini sering terjadi pementasan-pementasan tarian
sakral di hotel, bahkan tarian ritual yang sangat sakral sempat dijadikan alat
untuk mendapatkan rekor MURI. Seperti yang saya katakana sebelumnya bahwa hal ini
sangat menyedihkan, mengingat bahwa tarian ritual hanya dipentaskan pada
tempat, waktu, dan kondisi tertentu yang juga memiliki aura kesakralan, maka
jika sebuah tari ritual dipentaskan untuk hal komersil, ini akan menghilangkan
aura kesakralan tari tersebut. Maka, larangan ini menjadi angina penyejuk bagi keaslian budaya Bali.
Tetapi kembali bahwa
ini tidak bisa menyelesaikan semua masalah. Lomba Tari Ritual yang saya ikuti
itu dilaksanakan di luar Bali, yaitu di Surabaya. Maka larangan yang
dikeluarkan gubernur Bali tidak memiliki hak yang sama untuk melarang
pementasannya di luar Bali. Dengan begini, satu satunya cara agar masalah ini
terselesaikan ialah kesadaran dari seluruh pelaku seni yang ada di Indonesia
khususnya yang beragama Hindu agar mengetahui bahwa tarian ritual bukanlah
tarian yang bisa dipentaskan diluar tujuan ritual. Hal ini bisa dilakukan
dengan diskusi antara gubernur Bali dengan PHDI untuk memberitahukan larangan ini ke seluruh provinsi se-Indonesia. Dengan
upaya ini, makna dan keaslian tari ritual akan terselamatkan dari
ancaman-ancaman yang ada.
Agar tidak
menghilangkan kesakralan tarian tersebut. Tarian ritual saat ini sedang diancam
oleh beberapa hal. Salah satu ancaman yang paling besar ialah pementasannya
untuk hal komersial. Agar hal ini tidak terjadi, maka seluruh pelaku seni harus
memiliki wawasan dasar mengenai tari ritual agar tidak dipentas pada kebutuhan
selain sebuah upacara adat, upaya ini akan membebaskan tari-tarian sakral dari
semua ancaman yang ada dan hal ini juga berarti bahwa kita telah melestarikan
budaya nenek moyang kita dengan baik.
No comments:
Post a Comment