Friday, November 22, 2019

Upaya Menjaga Kesakralan Tari Ritual Sebagai Implementasi Tri Hita Karana

 Gambar Tari Sakral Rejang Dewa
Tari Rejang Dewa, salah satu tari sakral Bali

          Bali merupakan pulau yang sangat kaya akan budaya tradisional. Budaya Bali  yang diinspirasi oleh agama Hindu benar benar unik dan tidak bisa dijumpai dimanapun di dunia ini. Karena itu, Bali dijuluki sebagai Pulau Dewata. Ada banyak hal yang kita bisa temukan di Bali, tetapi sulit ditemukan di tempat lain, salah satu contohnya adalah tarian ritual. Tarian ritual merupakan tarian yang dipentaskan ketika ada upacara-upacara tertentu yang juga memiliki maksud dan tujuan tertentu dan bersifat spiritual. Di bali, tarian ritual ini jumlahnya mencapai ratusan dan uniknya beberapa daerah memiliki tarian ritualnya masing-masing. Tri Hita Karana ada sebagai alasan terciptanya tarian ritual. Pementasan tarian ritual ini merupakan cerminan yang meyakinkan akan citra pulau Bali sebagai Pulau Dewata itu.

Seiring dengan perkembangan zaman yang disebut sebagai era globalisasi ini, eksistentsi Bali pada dunia meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun hingga sekarang, ini berdampak pada sektor pariwisata bali yang terus meningkat. Namun, dilihat dari sudut pandang ajaran filsafat Tri Hita Karana, hali ini didominasi dengan dampak negatifnya.  makna dari “Pulau Dewata” yang dimiliki Bali terancam bahaya, dan bahwa julukan “Pulau Dewata” tidak akan lagi memiliki makna yang sebenarnya, dan hanya akan menjadi julukan semata.

Saya yakin bahwa kita masih belum terlambat untuk membenahi diri, untuk sadar akan bahaya yang selalu mengancam identitas Pulau Bali sebagai Pulau Dewata. Satu satunya cara yang bisa kita tempuh untuk menghindari ancaman ialah kesadaran yang lebih akan pentingnya Tri Hita Karana.

            Tarian ritual biasanya dipentaskan bersamaan dengan diadakannya suatu upacara keagamaan. Dan disini, Tri Hita Karana berdiri sebagai alasan dan makna tersirat ketika dipentaskannya sebuah tari ritual. Sesuai dengan ajaran filsafat Tri Hita Karana, maka tujuan dipentaskannya tari-tarian ritual dapat dibagi menjadi tiga.

Yang pertama ialah sebagai upacara yang dilakukan oleh manusia untuk menjaga keharmonisannya dengan Tuhan. Salah satu contohnya ialah pementasan tari Rejang Dewa yang hanya ditarikan pada saat ritual tertentu sebagai perantara untuk mengundang para Dewa dengan manifestasinya agar turun ke bumi untuk menerima persembahan yadnya yang dihaturkan pada ritual itu. Syarat dipentaskannya tari Rejang Dewa tidak hanya harus sesuai dengan ritual upacaranya, juga yang melakukannya ialah gadis yang masih bersih,  tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sudah mengalami menstruasi. Dari sini kita juga bisa mengetahui bahwa tari ritual tidak hanya harus sesuai tempat, waktu, dan kondisi, juga hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kriteria tertentu. Maka adalah sebuah penghinaan bagi para Dewa jika tari ritual yang sakral seperti tari Rejang Dewa dipentaskan untuk perihal komersial.

            Tujuan dipentaskannya tarian ritual menurut Tri Hita Karana yang kedua ialah  upaya manusia untuk meminta anugerah kepada Tuhan agar diharmoniskan dengan alam. sudah menjadi hal pokok dalam setiap makna kegiatan yang dilakukan oleh umat Hindu khususnya di Bali.

            Lalu tujuan pementasan tari ritual menurut Tri Hita Karana yang ketiga adalah sebagai upaya pelakunya untuk mengharmoniskan dirinya dengan manusia lain, yakni dengan melestarikan budaya asli yang telah diciptakan nenek moyangnya. Diluar daripada nilai-nilai spiritual yang terkandung didalam sebuah tarian ritual, ada juga nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan disana, seperti contohnya adalah bagaimana kita tetap mempertahankan pakem keaslian dari tarian ritual sesuai dengan apa yang diajarkan guru kita, dan hendaknya guru kita mengajarkan kita sesuai dengan apa yang diajarkan gurunya. Makna dari sebuah tari ritual tidak akan pernah melenceng dari makna sebenarnya jika rantai ini terjaga untuk tidak putus.

            Apa yang terjadi pada tari ritual di masa ini terlihat sangat memprihatinkan. Mulai dari adanya modifikasi gerakan yang sebenarnya, juga oleh orang orang yang mementaskannya pada tempat tempat yang bersifat komersial, seperti hotel, sebuah perayaan bisnis, hingga dijadikannya tarian ritual ini sebagai alat untuk memperoleh rekor MURI. https://bali.bisnis.com/read/20190917/537/1149365/tari-sakral-bali-akhirnya-dilarang-pentas-untuk-kegiatan-komersial


Gambar penampilan tari Rejang Dewa pada acara Festival Seni Keagamaan Hindu 2019

            Pada pertengahan bulan september kemarin, Kementrian Agama RI mengadakan sebuah event nasional yaitu Festival Seni Keagamaan Hindu yang diadakan di Surabaya. Dalam rangkaian festival tersebut, diadakan juga beberapa cabang lomba, yang salah satu diantaranya adalah Lomba Musik Tradisional Ritual Keagamaan Hindu dan  Lomba Tari Ritual Keagamaan Hindu. Saya disana sebagai pemusik yang mewakili provinsi Jawa Barat. Saya secara pribadi menolak adanya perlombaan ini, karena tidak hanya merusak citra tarian dari segi spiritual, juga mengancam adanya perubahan gerakan yang sudah ada demi memenangkan perlombaan. tetapi dilemanya adalah tim saya mendapatkan juara di lomba tersebut. Lalu siapa yang bisa disalahkan jika sudah begini? Apakah saya karena secara sengaja mau mengikuti perlombaannya? Atau salah panitia penyelenggara karena memperlombakan sebuah ritual?



Gubernur Bali Wayan Koster membacakan Surat Keputusan Larangan Pementasan Tari Sakral untuk komersil

Akhirnya pada bulan yang sama, yakni bulan september kemarin, Gubernur Bali I Wayan Koster mengumumkan surat keputusan larangan untuk dipentaskannya 127 tarian ritual untuk tujuan komersial, yang terdiri dari beberapa jenis tari Baris, tari Rejang, tari Sanghyang, dan tari Barong. Diketahui bahwa selama ini sering terjadi pementasan-pementasan tarian sakral di hotel, bahkan tarian ritual yang sangat sakral sempat dijadikan alat untuk mendapatkan rekor MURI. Seperti yang saya katakana sebelumnya bahwa hal ini sangat menyedihkan, mengingat bahwa tarian ritual hanya dipentaskan pada tempat, waktu, dan kondisi tertentu yang juga memiliki aura kesakralan, maka jika sebuah tari ritual dipentaskan untuk hal komersil, ini akan menghilangkan aura kesakralan tari tersebut. Maka, larangan ini menjadi angina  penyejuk bagi keaslian budaya Bali.

Tetapi kembali bahwa ini tidak bisa menyelesaikan semua masalah. Lomba Tari Ritual yang saya ikuti itu dilaksanakan di luar Bali, yaitu di Surabaya. Maka larangan yang dikeluarkan gubernur Bali tidak memiliki hak yang sama untuk melarang pementasannya di luar Bali. Dengan begini, satu satunya cara agar masalah ini terselesaikan ialah kesadaran dari seluruh pelaku seni yang ada di Indonesia khususnya yang beragama Hindu agar mengetahui bahwa tarian ritual bukanlah tarian yang bisa dipentaskan diluar tujuan ritual. Hal ini bisa dilakukan dengan diskusi antara gubernur Bali dengan PHDI untuk memberitahukan larangan ini ke seluruh provinsi se-Indonesia. Dengan upaya ini, makna dan keaslian tari ritual akan terselamatkan dari ancaman-ancaman yang ada.

Agar tidak menghilangkan kesakralan tarian tersebut. Tarian ritual saat ini sedang diancam oleh beberapa hal. Salah satu ancaman yang paling besar ialah pementasannya untuk hal komersial. Agar hal ini tidak terjadi, maka seluruh pelaku seni harus memiliki wawasan dasar mengenai tari ritual agar tidak dipentas pada kebutuhan selain sebuah upacara adat, upaya ini akan membebaskan tari-tarian sakral dari semua ancaman yang ada dan hal ini juga berarti bahwa kita telah melestarikan budaya nenek moyang kita dengan baik.

Om santi santi santi om

No comments:

Post a Comment